Senin, 10 Oktober 2011

Efektifitas pelaksanaan e-Procurement

Pada suatu rapat persiapan pengadaan, di rencanakan akan dilaksanakan belasan paket pengadaan jasa lainnya dengan nilai pengadaan sebesar lebih dari Rp 50 milyar. Pimpinan satker menginstruksikan agar pelaksanaan pengadaan dilakukan secara e-Procurement "Full e-Proc" tanpa sama sekali tatap muka dengan penyedia.

Dalam kesempatan itu satker mengkonfirmasikan kemampuan sistem dalam mengakomodir karakteristik paket pengadaan tersebut dikarenakan antara lain dokumen penawaran pada pengadaan tahun sebelumnya kurang lebih setebal 2 rim kertas ukuran A4, proses aanwijzing sebelumnya dimana rata-rata masing-masing penyedia menyampaikan pertanyaan sebanyak 15 pertanyaan. Dikarenakan hal itu sistem kembali dipertanyakan seberapa besar kapasitas server data sistem, seberapa besar bandwidth yang disediakan lalu bagaimana layanan helpdesk apabila penyedia menghadapi mengupload penawaran.

Pertanyaannya adalah apakah sistem mampu melaksanaan secara Full e-Procurement ?

Pendapat saya pada saat itu adalah

Pada dasarnya sistem mampu melakukan proses seperti yang diinginkan oleh satuan kerja dan satker, akan tetapi pelaksanaan eprocurement adalah harus efektif dan efisien baik waktu, biaya maupun tenaga.

1. Berdasarkan pada besarnya nilai dan kompleksitas lingkup pekerjaan, apakah dari KAK yang sudah disusun sudah cukup dimengerti dan diyakini calon peserta memamami betul lingkup pekerjaan tanpa perlu dijelaskan dalam suatu forum, mengingat pada pengadaan sebelumnya ketika aanwijzing dilaksanakan secara manual masing-masing penyedia barang/jasa menyampaikan minimal 15 pertanyaan.

2. Dalam proses evaluasi penawaran, ketika proses manual (hardcopy) berapa lama evaluasi dilakukan untuk masing-masing perusahaan dengan penawaran yang rata-rata setebal hampir 2 rim kertas. Apabila data penawaran diuplod ke dalam sistem oleh penyedia dan lalu di download oleh panitia dengan jumlah halaman yang sama banyaknya, kira-kira berapa lama evaluasi dilakukan dengan membaca penawaran di monitor komputer.

Dari cerita singkat di atas, e-procurement bukan saja dapat memperoleh nilai kontrak yang efisien, akan tetapi dari prosesnya pun harus efektif dan efisien. Proses e-procurement yang ada saat ini menurut saya adalah proses pengadaan manual yang di elektronikkan sehingga banyak terjadi ke rancuan dalam penerapannya, sehingga muncullah istilah Semi & Full e-Procurement. Yaitu bila sebagaian tahapan pengadaan dilakukan secara elektronik itu disebut Semi, kalau seluruh tahapan dilakukan secara elektronik disebut Full e-Procurement.

Pendapat saya adalah kalau proses pengadaan elektronik masih di campur dengan proses manual walaupun seluruh tahapan dilakukan secara elektronik itu Semi, akan tetapi kalau seluruh proses dilakukan secara murni elektronik atau semua dilakukan oleh sistem itu adalah Full e-Procurement.

Kembali ke cerita di atas.

Bagaimana proses e-procurement dapat dilakukan secara efektif dan efisien, sesuai dengan tujuan e-Procurement yang tertuang pada pasal 107 Perpres 54/2010 yaitu "memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan. Salah satu yang dipertimbangkan adalah karakteristik pengadaan itu sendiri.

1. Proses aanwijzing : apabila KAK yang di susun mampu memberikan gambaran utuh lingkup pekerjaan tanpa harus di jelaskan proses aanwijzing bisa dilakukan secara elektronik, akan tetapi seperti halnya pekerjaan konstruksi yang memerlukan survei lapangan, jenis pengadaan lainnya pun demikian apabila keterangan pada KAK dirasa tidak mampu memberikan gambaran proses aanwijzing dapat dilakukan secara manual.

2. Pemasukan penawaran : saat ini banyak yang gengsi atau malu kalau pemasukan penawaran manual (hardcopy), entah khawatir karena takut dianggap melanggar peraturan atau karena satker atau instansi lain sudah tidak melakukan manual sehingga ingin ikut-ikutan.
adakalanya penawaran yang disampaikan hanya beberapa lembar kertas saja, apabila file penawaran dikonversikan ke dokumen hardcopy, akan tetapi bagaimana penawaran yang memerlukan banyak kertas ditambah lagi dengan banyak gambar...kalau di konversikan ke bentuf softcopy menghasilkan besar file hingga ratusan Mb.

Akibatnya boros bandwidth karena masing-masing penyedia berupaya untuk mengupload file dalam jumlah yang besar dimana besarnya kemungkinan gagal atau file rusak dan tidak dapat dibuka, selain itu tidak semua orang terbiasa membaca tulisan dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang lama di komputer, sebagian dari kita masih terbiasa lebih nyaman membaca dalam bentuk hardcopy. Yang pada akhirnya dokument tersebut harus di cetak lagi, 2 kali kerja akibatnya tidak efektif dan efisien waktu & biaya.

Jadi dalam pelaksanaan e-Procurement pun panitia pengadaan harus "SMART" dalam menilai karakteristik pengadaannya agar proses secara e-Procurement benar-benar membantu sehingga pengadaan menjadi lebih efektif dan efisien bukan hanya dari nilai kontrak akan tetapi dari keseluruhan proses pengadaan tersebut.

Akan tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah ada dampak hukumnya apabila e-procurement pelaksanaannya bersifat semi ? namun apabila yang dijadikan pertimbangan adalah efisiensi dan efektifikas proses pengadaan apakah akan disalahkan juga?

Jumat, 26 Agustus 2011

Service Level dalam Pelayanan aplikasi e-Procurement

Perpres 54/2010 pada Pasal 111 ayat 5 dinyatakan "LPSE wajib menyusun dan melaksanakan standar prosedur operasional serta menandatangani kesepakatan tingkat pelayanan (Service Level Agreement) dengan LKPP".

Lalu seperi apa service level agreementnya apakah yang dimaksud pada perpres ini adalah layanan LPSE ke Para Pengguna aplikasi (ULP & Penyedia b/j) atau Layanan LKPP ke LPSE ? saat ini kita masih menunggu informasi lebih lanjut tentang SLA ini.

Terlepas dari hal itu semua, secara umum Service Level (tingkat layanan) terdapat kesamaan. Khusus di instansi pemerintah dasar hukumnya adalah Kepmenpan No. 81 tahun 1993 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum.

Dalam Keputusan Menteri tersebut dinyatakan tentang sendi-sendi pelayanan umum, antara lain :

1. KESEDERHANAAN
2. KEJELASAN/KEPASTIAN
3. KEAMANAN
4. KETERBUKAAN
5. EFISIEN
6. EKONOMIS
7. KEADILAN
8. KETEPATAN WAKTU

Berdasarkan 8 butir tersebut di atas, SLA tersebut dapat mencakup semua aspek tersebut. sehingga dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara efektif & efisien dan dapat terukur.

Dalam proses e-procurement, sebagaimana telah diketahui memiliki unit kerja bertugas untuk melayani para pengguna aplikasinya. Layanannya berupa Bantuan teknis penggunaan aplikasi, permintaan user ID & password, serta layanan lainnya yang terkait dengan proses e-procurement.


Salah satu contohnya antara lain proses verifikasi. Dalam proses verifikasi perlu informasi yang jelas, seperti dokumen apa saja yang akan diverifikasi, apa saja yang akan diverifikasi, bagaimana verifikasi dilakukan serta lamanya proses verifikasi.

Tidak berbeda dengan layanan publik lainnya layanan pengadaan secara elektronik di harapkan nanti SLA yang akan diterbitkan mengacu pada sendi-sendi layanan tersebut didukung oleh prosedur-prosedur yang efektif dan efiesien , sehingga dalam memberikan layanan dapat terukur kinerjanya sehingga dapat memberikan layanan prima.

Sabtu, 23 Juli 2011

Dengan e-Procurement %tase penghematan semakin kecil ?

Mengutip wawancara detik.com dengan Ka. LKPP dinyatakan bahwa "Dengan diterapkannya proses tender melalui e-procurement sekitar 17% anggaran belanja bisa dihemat." (artikel : LKPP: Modus Tender ala Nazaruddin Ada Sejak Orde Baru).

Namun apabila memperhatikan hubungannya dengan diterapkannya Perpres No. 54/2010, penerapan e-procurement dimasa yang akan datang rasanya tidak dapat diidentikan dengan penghematan, mengapa ?

1. 1. Pasal 16 tentang Penetapan HPS dinyatakan Penyusunan HPS didasarkan pada data harga pasar setempat, yang diperoleh berdasarkan hasil survei menjelang dilaksanakannya Pengadaan,….

2. 2. Pada Pasal 107 tentang tujuan pengadaan secara elektronik ayat b dinyatakan “meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat;”…


Apabila dalam penyusunan HPS telah benar-benar sesuai dengan harga pasar setempat yang dapat dipertanggung jawabkan, lalu dengan pelaksanaan e-procurement yang telah menjadikan suatu pasar cyber penyedia barang/jasa yang berskala nasional bahkan internasional, justru penghematan semakin kecil persentasenya hal tersebut dikarenakan karena kompetisi harga yang semakin ketat dan sehat dengan penawaran yang berkualitas baik teknis, administrasi serta harga yang dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya yang perlu ditekankan adalah pelaksanaan hasil pengadaan berupa kontrak pekerjaan agar hasilnya dapat sesuai dengan spesifikasi teknis dan lingkup pekerjaan. dengan mengembangkan sistem monitoring pelaksanaan pengadaan barang/jasa sehingga mampu memonitor setiap tahapan pelaksanaan kontrak, agar dalam hasil pelaksanaannya dapat dipertanggung jawabkan sesuai perencanaan spesifikasi teknis maupun ruang lingkup pengadaan.

Selasa, 05 Juli 2011

cerita e-Procurement dulu dan sekarang

Seperti pesan Bung Karno pada setiap pidatonya "Jangan sekali kali melupakan sejarah" atau lebih dikenal dengan "JAS MERAH", yuk kita flashback sejenak tentang sejarah lahirnya e-procurementnya di Indonesia.

di awali dengan e-Announcement yang merupakan awal menuju e-Procurement Indonesia secara bertahap sampai lahirnya LKPP sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah. Artikel-artikel ini menurut saya bisa mewakili kisah besar

saya mendapatkan beberapa artikel yang menarik tentang awal penerapan eprocurement di indonesia di antaranya dapat di dilihat
- www.bappenas.go.id/get-file-server/node/3373/
-
Perkembangan e-Procurement
- empat daerah terapkan sistem pengadaan secara elektronik http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/09/29/brk,20070929-108644,id.html

Pembentukan LKPP

Penerapan eprocurement saat ini

Integrasi data e-Procurement dengan Sistem Ditjen Pajak

semoga artikel ini dapat menjadi referensi guna perkembangan e-Procurement di Indonesia di masa mendatang.

Kamis, 16 Juni 2011

e-Procurement atau Integritas ?

Dalam beberapa kesempatan sering saya mendengar, "kalau memakai e-proc pasti bisa tidur nyenyak"..

Semoga memang demikian adanya. Akan tetapi sistem hanyalah alat bantu manusia dalam menjalankan tugasnya, yang harus terus menerus di bina adalah integritas para pelaku atau pengguna sistem e-procurement itu sendiri bahkan pengelola sistem e-procurement. e-Procurement tidak dapat mendeteksi adanya kecurangan, e-Procurement tidak dapat mendeteksi adanya pengaturan tender, walaupun pelaksanaan faceless (tanpa tatap muka) namun sistem tidak dapat mendeteksi pertemuan-pertemuan yang dilakukan diluar sistem guna mengatur suatu tender.

Dapat di rasakan secara tidak langsung kehadiran sistem e-procurement telah mengubah mind set para pelaku pengadaan dalam pelaksanaan pengadaan menjadi lebih hati-hati, akan tetapi sebagaimana telah disebutkan di atas justru pembinaan dari integritas menjadi sangat mutlak, para oknum akan berusaha mencari kelemahan sistem dan membuat modus baru penyimpangan pelaksanaan pengadaan dengan sistem eprocurement.

Apabila integritas sudah bagus apakah e-procurement masih diperlukan ?

Selasa, 31 Mei 2011

kualifikasi administrasi penyedia barang/jasa pada proses pengadaan -rev

Selaku orang awam dari lingkungan sipil coba kita analisa dari sudut pandang awam..

Perpres 54/2010 adanya prinsip pengadaan yaitu : efektif, efisien, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif, akuntabel.

Pada penjelasan Perpres 54/201 tersebut dinyatakan :
"Untuk melaksanakan prinsip Good Governance and Clean Government, maka Pemerintah harus melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya secara efisien, serta mewujudkannya dengan tindakan dan peraturan yang baik dan tidak berpihak (independen), serta menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan, profesional, dan akuntabel".

"Pengaturan mengenai tata cara Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden ini diharapkan dapat meningkatkan iklim investasi yang kondusif, efisiensi belanja negara, dan percepatan pelaksanaan APBN/ APBD".

Kalau tidak salah menterjemahkan tujuan dari Perpres No.54/2010 ini pengadaan barang/jasa ini harus lah efektif dan efisien dimana hasil dari pengadaan harus lah menguntungkan negara dari sisi keuangan dengan kualitas sesuai yang dipersyaratkan.

Kalau memang ini tujuannya mengapa apa ada yang salah dari proses pengadaan dari peraturan-peraturan sebelumya padahal kalau bertujuan sama yaitu efektif dan efisien dari sisi keuangan dengan kualitas sesuai dengan persyaratan, sehingga aturan tentang proses pengadaan di revisi .

Bila demikian mengapa dalam mendapatkan pemenang pengadaan ada proses kualifikasi administrasi penyedia barang/jasa ? apakah artinya banyak pengusaha yang tidak memiliki administrasi yang benar, sehingga masih harus di evaluasi kembali.

Lalu bagaimana hubungannya dengan dokumen perusahaan seperti, Ijin Usaha, Kewajiban perpajakan, laporan keuangan yang diaudit, serta dokumen lainnya terkait dengan kelengkapan administrasi perusahaan. Bukankah tiap dokumen perusahaan saling berkaitan dan berada dalam satu rangkaian yang di dalamnya terdapat kewajiban pengusaha untuk melaporkan keberadaan dan kemampuan perusahaannya.

Jadi kalau keberadaan dan kemampuan serta kelengkapan dokumen administrasi sudah terdokumentasi dengan baik, seharusnya proses pengadaan menjadi lebih cepat tanpa perlu melakukan evaluasi kualifikasi administrasi perusahaan tinggal mencari perusahaan yang dapat memberikan penawaran yang dinilai efisien. Kalau begitu yang seharusnya perlu dirubah bukannya sistem atau tata cara pengadaan akan tetapi sistem untuk mengawasi keberadaan dan kemampuan perusahaan tersebut.

Kalau tugas penilaian kemampuan perusahaan (kualifikasi) dilakukan dalam proses pengadaan lalu apa fungsi dari instansi/lembaga yang menerbitkan dokumen perusahaan ? apakah hanya sekedar menerbitkan saja tanpa peduli keberadaan perusahaan tersebut ? rasanya tidak adil yah ...

Justru seharusnya proses pengadaan ini murni pengadaan saja tanpa perlu lagi melakukan evaluasi dokumen administrasi perusahaan..dengan demikian proses pengadaan jadi lebih efektif dan efisien...ataukah diciptakan sistem atau mekanisme yang memungkinkan informasi kelengkapan dan keabsahan dokumen administrasi perusahaan dapat diakses.

Mungkin pernyataan ini akan di sangkal oleh para penyusun peraturan tentang pengadaan dengan berbagai pertimbangan, tapi seperti yang di atas tadi rasanya tidak adil kalau para instansi penerbit dokumen administrasi perusahaan tidak memiliki tanggung jawab apapun terhadap dokumen yang diterbitkannya bahkan kepada perusahaannya dengan tidak mengawasi keberadaan dan kemampuan perusahaan tersebut.

Senin, 30 Mei 2011

reach to the sky...



merupakan salah satu kalimat dari Woody si koboi cerdik tokoh utama film Toy Story.

Kalimat itu menginspirasi ketika berada dalam pesawat terbang. Serasa menggapai langit menikmati keindahan dan keagungan ciptaan Allah SWT. Beraneka ragam bentuk awan dan sinar matahari yang merupakan master piece ciptaan Allah yang tiada banding.

Beberapa kesempatan sempat
di dokumentasikan walau dengan kamera digital sederhana.

Rabu, 25 Mei 2011

Think before click...

Kalimat tersebut merupakan suatu ajakan untuk berfikir sebelum berselanjar di dunia maya, demikian pula halnya dengan pelaksanaan e-Procurement.

Dalam beberapa kesempatan pelatihan teman-teman panitia pengadaan menyakan kepada saya apa yang harus dilakukan apabila ada kesalahan pada saat input detail paket pengadaan pada aplikasi e-Procurement.

Kalimat itulah yang sering saya gunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan menggunakan analogi mengirim sms atau email, "kalau salah nomor pada saat mengirim sms atau e-mail apakah bisa minta dibalikin lagi sms atau e-mail tersebut ?" biasanya peserta pelatihan senyum-senyum, mungkin karena diantaranya pernah salah kirim nomor hp / alamat email pada saat mengirim sms atau email. Ketika saat itu terkirim saat itulah pesan diterima dan langsung dapat dibaca.

Sama halnya dengan aplikasi e-procurement, saat paket pengadaan diumumkan saat itu juga seluruh pengguna internet dapat membaca data yang diumumkan ketika mengakses alamat aplikasi e-procurement tersebut.

Lalu apa dampaknya ? sama halnya dengan pengadaan secara manual, hal yang paling mungkin terjadi adalah adanya sanggahan dari peserta pengadaan

Jadi sebelum data paket pengadaan dipublikasikan pada aplikasi e-procurement, panitia pengadaan wajib untuk memastikan bahwa data yang telah diinput atau di upload merupakan data yang benar.

Sama halnya dengan penyedia barang/jasa. Kesalahan input data dapat merugikan perusahaan itu sendiri, karena bisa menggugurkan pada saat evaluasi penawaran atau yang terburuk adalah perusahaan dapat di kenakan black list karena memberikan informasi yang berbeda dengan dokumen perusahaan.

Lebih luas lagi "Think before click", juga untuk tidak sembarangan membuka link url yang tidak dikenal, membuka attachment file pada email yang tidak jelas pengirimnya.

Kamis, 05 Mei 2011

indikator keberhasilan penerapan e-Procurement ...

Pasal 107 Perpres No. 54 tahun2010

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara elektronik bertujuan
untuk:
a. meningkatkan transparansi dan akuntabilitas;
b. meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat;
c. memperbaiki tingkat efisiensi proses Pengadaan;
d. mendukung proses monitoring dan audit; dan
e. memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time.

lalu, apa yang menjadi penilaian keberhasilan penerapan e-Procurement ?

apakah selisih pagu anggaran dan kontrak berupa penghematan ?
apakah tingkat partisipasi penyedia barang/jasa yang mengikuti suatu paket pengadaan ?
apakah banyak jumlah paket pengadaan melalui e-Procurement?
apakah tingginya nilai pengadaan melalui e-Procurement?
apakah luasnya jangkauan suatu sistem e-Procurement ?


Rabu, 04 Mei 2011

e-Procurement ?

Dalam Perpres No. 54 tahun 2010 Pasal 1 ayat 37 "Pengadaan secara elektronik atau E-Procurement adalah Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

seperti apa bussiness process e-Procurement Indonesia ?

Apakah bussiness process pengadaan "konvensional" yang telah diatur dalam Perpres 54 tahun 2010 di "elektronikkan" ?
Apakah e-Procurement Indonesia akan memiliki bussiness process tersendiri ?

apakah seluruh proses / tahapan telah dilakukan oleh sistem seperti evaluasi adminstrasi, teknis dan biaya serta penentuan pemenang ?

let's make procurement simple, accurate, and accountable through electronic.

Senin, 02 Mei 2011

Pengelolaan Sistem e-Procurement

Pengelolaan sistem e-Procurement bukan hanya mengandalkan kemampuan dan ketersediaan infrastruktur akan tetapi kemampuan dan kesiapan dari personilnya dalam mengelola sistem dan memberikan layanan ketersediaan dan kehandalan sistem.

Dalam kegiatan pengadaan barang/jasa, tiap tahapan pengadaan merupakan sesuatu yang kritis. Sebab masing-masing tahapan terdapat konsekuensi yang harus dijalankan baik oleh panitia pengadaan maupun penyedia barang/jasa.

Sehingga dukungan ketersediaan aplikasi menjadi sangat mutlak sehingga peserta pengadaan tidak merasa dirugikan karena informasi yang disampaikan tidak dapat diakses.

Dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Bagian Kedua Penyelenggara Sistem Elektronik Pasal 15 yaitu :
(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya

(2) Penyelenggara Sisten Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya

Dengan demikian masing-masing instansi pengelola sistem wajib memiliki rencana tindak untuk menjaga ketersediaan sistem dengan menyusun DRP (Disaster Recovery Plan) dan BCP (Business Contiunity Plan), selain itu setiap pengelola sistem e-Procurement harus benar-benar memahami secara keseluruhan tentang aplikasi yang dikelolanya.

Sehingga aktivitas pengadaan barang/jasa melalui elektronik ini dapat laksanakan tanpa kendala dan setiap pengelola dapat dengan cepat mengatasi kendala, sebab bukannya tidak mungkin sanggahan atau aduan bukan hanya terhadap proses pengadaan yang ditujukan kepada Panitia Pengadaan tetapi dapat juga ditujukan kepada pengelola sistem karena dianggap lalai memberikan layanan dan hal tersebut akan menimbulkan persepsi negatif proses pengadaan secara elektronik yang sedang berlangsung.

Jumat, 15 April 2011

Blacklist Perusahaan dalam penerapan e-Procurement


Perpres No. 54/2010 tentang "Pengadaan Barang Jasa/Pemerintah Bagian Keempat Sanksi Pasal 118 ayat (6) Apabila ditemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang disampaikan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang dan dimasukkan dalam Daftar Hitam."

Namun apabila pemalsuan informasi tersebut terjadi pada pengadaan barang/jasa secara elektronik (e-Procurement), apakah cukup dengan dimasukkan ke dalam daftar hitam ? atau ada yang lainnya ? Bagaimana hubungannya dengan UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?

Definisi e-Procurement menurut Perpres No. 54/2010 Pasal 1 ayat 37. Pengadaan secara elektronik atau E-Procurement adalah Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Undang-undang yang mengatur tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah UU No. 11 tahun 2008.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

BAB III
INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

Pasal 51
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 52
(2)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga.

Melihat hubungannya Perpres No. 54/2010 dengan UU No. 11/2008, penyedia barang/jasa yang memberikan informasi yang tidak valid atau melakukan pemalsuan informasi pada sistem e-Procurement, bukan hanya masuk dalam Daftar Hitam, namun dapat dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam UU No.11/2008 tersebut.

Senin, 11 April 2011

Apakah etika pengadaan juga berlaku pada petugas helpdesk, verifikator dan administrator sistem e-Procurement ?

Pada Perpres No 54/2010 tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah pada Bagian Kedua Etika Pengadaan Pasal 6 dinyatakan "Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut :
  1. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan Barang/Jasa;
  2. bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
  3. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
  4. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;
  5. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa;
  6. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa;
  7. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;
  8. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa."

Dalam Perpres No. 54/2010 tersebut juga disebutkan adanya LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) yaitu unit yang menangani sistem e-Procurement, dan paling kurang meliputi : administrator sistem elektronik, unit registrasi dan verifikasi serta unit layanan pengguna. Peraturan Ka.LKPP No. 2/2010 tentang Pembentukan LPSE di peraturan tersebut menjelaskan kedudukan, tugas dan fungsi dari LPSE.

Isu-isu belakangan ini lebih banyak memberitakan panitia pengadaan atau pihak yang terlibat langsung dengan proses pengadaan, namun di era e-Procurement ini akan menimbulkan motif baru dalam penyimpangan pengadaan barang/jasa.

Perpres No. 54/2010 berikut aturan pendukung lainnya saat ini terlihat sangat concern sekali kedudukan pejabat pengadaan agar lebih profesional dalam menjalankan tugasnya dikarenakan dampak dari rawannya terjadi penyimpangan dalam proses pengadaan, sebagaimana pada pasal 6 tersebut disebutkan para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengadaan yaitu pejabat pengadaan/ULP serta penyedia barang/jasa

Lalu bagaimana dengan kedudukan LPSE (atau kita sebut saja Unit Penyedia Layanan Sistem e-Pengadaan) berikut perangkat dan personil yang terlibat di dalamnya? Di masa yang akan datang "oknum" akan terus mencari celah untuk "mengganggu" proses pengadaan melalui elektronik ini. Apabila Pejabat Pengadaannya sudah profesional kalau kita "jeli" pasti akan fokus pada petugas LPSE seperti helpdesk, verifikator dan yang paling penting administrator sistem.

Seperti pada paragraph di atas, saat ini fokus hanya tertuju dengan kinerja panitia pengadaan, namun dengan diterapkannya sistem e-Procurement/e-Pengadaan siapakah yang justru memegang kendali terhadap sistem tersebut ? Ya, Unit Penyedia Layanan Sistem inilah yang memegang kendali penuh terhadap jalannya sistem. Sebagimana tugas utamanya adalah melayani pendaftaran penyedia barang/jasa, verifikasi data penyedia barang/jasa, memberikan bantuan teknik penyedia barang/jasa, serta menjaga ketersediaan sistem.

Dengan demikian personil yang terlibat dalam layanan sistem tersebut juga harus memiliki integritas yang tinggi, sebab saat ini yang justru bertatap muka langsung dengan penyedia barang/jasa adalah mereka. Dan bukanlah hal yang tidak munkin terjadi pengaturan lelang dapat dilakukan disini.


8 butir tentang etika pengadaan di atas juga menunjukkan bahwa etika pengadaan juga berlaku bagi personil di Unit Penyedia Layanan Sistem.

Diamanatkan pula di UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Bagian Kedua Penyelenggaraan Sistem Pasal 15,
ayat 1 "Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya"
ayat 2 "Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya"

Integritas personil yang terlibat dalam penyediaan layanan sistem juga tidak kalah pentingnya, kita lihat keterkaitan tugas unit layanan sistem dengan etika pengadaan :
  • unit layanan sistem memiliki tanggung jawab untuk mendukung jalannya proses pengadaan.
  • unit layanan sistem harus dapat menjaga kerahasiaan dokumen yaitu antara lain dokumen perusahaan dalam rangka verifikasi, dengan tidak membagikan informasi dokumen perusahaan dengan pihak lain sehingga dapat disalah gunakan.
  • masing-masing personil unit layanan sistem harus independen sehingga tidak saling mempengaruhi terutama dalam proses verifikasi penyedia barang/jasa.
3 butir di atas sangat rawan sekali dengan konflik kepentingan, sehingga harus dapat dihindari guna mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara.

Dan yang terakhir adalah "tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa", di suatu instansi penyedia layanan sistem, ada penyedia barang/jasa yang memberikan "tanda jasa" setelah dibantu misalnya melakukan pendaftaran ke sistem atau telah melewati proses verifikasi. Bentuknya pun macam-macam ada yang berupa makanan oleh-oleh suatu daerah karena penyedia barang/jasa berasal dari daerah tersebut, uang dalam amplop, souvenir perusahaan.
Bila dilihat dari nominal jumlah uangnya tidak seberapa besar dan mungkin belum masuk dalam kategori gratifikasi, namun hal tersebut dapat menimbulkan kecurigaan dengan peserta lain sehingga dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap penyedia sistem.

Selain itu intervensi bukan hanya dapat berasal dari penyedia barang dari pihak internal pun juga dapat melakukan hal yang sama, oknum pejabat dapat juga menggunakan kewenangannya untuk mengganggu proses pengadaan secara elektronik dalam upaya memenangkan suatu perusahaan melalui administrator sistem.

Dengan demikian semua kembali lagi pada integritas tiap personilnya dalam menjalankan tugasnya, pembinaan serta pengawasan seperti penandatanganan pakta integritas, selain itu juga perlu dipertimbangkan reward dan punishmentnya bukan hanya bagi penjabat pengadaan sebab apabila seluruh proses sudah melalui media elektronik peranan dan fungsi dari unit layanan sistem menjadi sangat penting dalam proses pengadaan barang/jasa. (nv)

Pentingnya verifikasi penyedia barang/jasa pada sistem e-Procurement



Apakah ada data tentang jumlah perusahaan penyedia barang/jasa di Indonesia ? kalau se-Indonesia terlalu besar kita persempit saja se Jakarta. Lalu pertanyaan selanjutnya berapa jumlah perusahaan tersebut yang benar-benar valid baik dari sisi dokumen perusahaan maupun keberadaan perusahaan tersebut. ?

Agaknya susah menjawab pertanyan tersebut, kalau jumlah kalau kita minta ke instansi yang menangani ini munkin masih ada jawabannya tapi kalau validitas perusahaan tersebut...saya yakin agak sulit mereka menjawab. Apalagi jumlah perusahaan yang sehat.

Dalam penyelenggaraan e-Procurement sebagaimana telah di amanat dalam UU no. 11 tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 17 ayat 2 bahwa Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung. Sehingga dengan demikian data penyedia barang/jasa yang mendaftar ke sistem haruslah merupakan data yang valid.

Dalam melakukan verifikasi, tim verifikator harus memastikan bahwa seluruh data pada dokumen perusahaan adalah sesuai satu dengan lainnya. Sekilas tampak bukan merupakan hal yang sulit untuk sekedar melihat kesesuaian data perusahaan, akan tetapi walau hanya dengan melihat kesesuaian data perusahaan ternyata banyak ditemui data perusahaan yang satu dokumen dengan dokumen lainnya tidak sesuai yang selama ini tidak dipermasalahkan sehingga tidak di perbaharui.

Dengan demikian fungsi dari verifikator yang merupakan bagian dari Unit Pelayanan Sistem e-Pengadaan menjadi sangat penting, sebab verifikator harus dapat memastikan bahwa penyedia barang/jasa yang mendaftar ke sistem merupakan perusahaan yang valid baik dari kelengkapan dokumennya maupun keberadaannya sehingga para pihak yang terlibat langsung dalam proses pengadaan secara elektronik memperoleh data yang dapat dipertanggung jawabkan.

Kamis, 31 Maret 2011

e-Procurement Indonesia ->Single Sistem atau Multi Sistem atau Sistem yang saling teringrasi ?

Ada yang bisa menjawab judul artikel ini ?

Mungkin tidak banyak orang yang tau perkembangan e-Procurement di Indonesia khususnya di instansi pemerintah, hal ini mungkin disebabkan karena bukan merupakan berita yang menarik bagi dunia pers, dan sepertinya memang belum pernah ada yang mengulas tentang perkembangannya secara global hanya instansi yang sudah memiliki mengulas untuk kebutuhan internal.

Perkembangan e-Procurement instansi pemerintah antara lain di awali oleh Pemko Surabaya dan Kementerian Pekerjaan Umum (Semi e-Proc Plus) di tahun 2003. Dilanjutkan dengan Kementerian Kominfo (NePGI sekarang SePP) di tahun 2004 sebagai pilot project dan penerapannya mulai 2007.

Saat ini dengan terbentuknya LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) tahun 2008 yaitu instansi yang bertanggung jawab terhadap kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah, juga telah mengembangkan sistem e-Procurement yaitu SPSE atau LPSE.

Hal tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia memiliki paling tidak terdapat 4 jenis sistem e-Procurement yang berjalan dan digunakan oleh masing-masing instansi tersebut dan beberapa instansi pemerintah yang memanfaatkan sistem e-Procurement tersebut.

Dengan kondisi seperti ini apakah sistem yang sudah berjalan lebih dahulu harus di hentikan karena LKPP telah mengembangkan sistem e-Procurement juga atau masing-masing aplikasi yang ada berjalan sendiri-sendiri ataukah seluruh aplikasi yang ada integrasikan satu dengan yang lainnya sehingga saling berinteroperabel ?

Apabila Single sistem, saat ini aplikasi SPSE yang dikembangkan oleh LKPP telah diinstall dan digunakan di instansi pusat maupun daerah. Andaikan seluruh instansi diwajibkan menggunakan aplikasi SPSE lalu bagaimana dengan aplikasi yang telah adadan telah memiliki data yang telah digunakan dan telah dikelola dan dipelihara, disamping itu tentunya nilai investasi dan pemeliharaannya yang tidak kecil.

Apabila aplikasi jalan masing-masing, lalu bagaimana dengan amanat Perpres 54/2010 tentang prinsip pengadaan adil transparan, efektif dan efiesien bagi penyedia barang/jasa, disaat mereka membutuhkan informasi tentang pengadaan barang/jasa mereka yang berasal dari bermacam-macam sistem sehingga menjadi tidak efektif dan efisien dan menjadi tidak adil dan transparan karena hanya yang mengetahui keberadaan aplikasi tersebut sajalah yang dapat mengakses informasi.

Apabila seluruh aplikasi terintegrasi dengan dijembatani oleh suatu aplikasi, mungkin hal ini dapat menjadi solusi agar aplikasi yang telah ada tetap berjalan dan dapat saling memperkaya data di aplikasi lainnnya, sebab masing-masing aplikasi memiliki keunggulan, sehingga satu dengan yang lainnya dapat saling melengkapi. Selain itu guna mendukung penyediaan data penyedia barang/jasa yang valid sehingga tiap aplikasi dapat saling memberikan data tersebut.

Sebagaimana telah dilakukan di dunia perbankan dengan adanya ATM bersama yang memungkinkan nasabah dari berbagai bank dapat mengambil uang pada ATM milik suatu bank yang memiliki jaringan ATM bersama tersebut. Sehingga seharusnya aplikasi e-Procurement yang ada ini dapat saling terintegrasi dan penyedia barang/jasa yang ada di dalamnya dapat melakukan transaksi. Sehingga prinsip pengadaan yang telah diamanatkan dalam Perpres No. 54/2010 dapat di jalankan. Dengan memanfaatkan teknologi single sign on dapat memungkinkan 2 aplikasi atau lebih saling bertransaksi antar aplikasi, sebagaimana beberapa provider e-mail mulai memanfaatkan situs jejaring sosial untuk dapat saling login begitu juga sebaliknya.

Solusi integrasi mungkin dapat menjadi alternatif solusi yang terbaik agar aplikasi yang telah ada tetap bisa berjalan, namun memang perlu kesiapan baik dari SDM dan infrastruktur pendukung, agar tiap aplikasi tersebut dapat dipastikan di akses selama 7x24 jam. Disamping itu perlu adanya kebijakan yang mengatur tentang integrasi dah sharing data, sehingga antar instansi memiliki kesamaan visi antar agar dapat bekerjasama untuk mendukung integrasi ini.

Rabu, 16 Maret 2011

Bagaimana e-Procurement akan diterapkan ???

Lahirnya Perpres No. 54/2010 tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah merupakan upaya pemerintah dalam memperbaiki sistem pengadaan barang/jasa pemerintah yang selama ini dinilai terjadi penyimpangan dari segi proses maupun pelaksanaannya.

Tahun 2012 diharapkan merupakan suatu titik balik pengadaan barang/jasa perintah karena di tahun tersebut seluruh instansi pemerintah diwajibkan menerapkan sistem e-procurement. Tahun 2011 ini diharapkan merupakan tahun persiapan dan pembelajaran baik instansi pemerintah itu sendiri maupun penyedia barang/jasa. Walaupun dalam Keppres No.80/2003 telah disebutkan tentang penggunaan sistem e-Procurement (pengadaan barang/jasa secara elektronik), namun pada kenyataannya e-procurement tersebut hanya berupa kajian dan wacana di lingkungan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah.

Tapi pertanyaannya apakah instansi yang saat ini telah menerapkan benar-benar dan sungguh-sungguh akan merubah proses pengadaan barang/jasa dari proses manual menjadi proses elektronik ?

Dalam Perpres No. 54/2010 walaupun telah disebutkan "wajib" namun tidak ada sanksi khusus bagi instansi tidak menerapkan pengadaan secara elektronik di tahun 2012. Sehingga sampai saat ini masih banyak instansi terutama instansi pusat yang belum menerapkan e-procurement. Adapun instansi yang telah memiliki website e-procurement saat ini baru sekedar "memasang" websitenya saja dan belum digunakan baru "sekedar" memenuhi kewajiban di Perpres tersebut.

Dalam beberapa kesempatan masih sering ditanyakan misal :
apakah untuk semua pengadaan harus di eproc-kan ?
apakah harus menerapkan e-proc secara full atau semi?
apakah pengadaan yang nilainya kecil juga di e-prockan ?
dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan apalagi dijawab sebab semua sudah jelas dalam peraturan.
Sehingga penerapan e-procurement ini terkesan masih negotiable. Jadi sepertinya targetnya adalah yang penting instansi tersebut sudah terlihat menggunakan e-proc, walaupun hanya memasang websitenya atau menayangkan pengumumannya pengadaan di website e-Procurement tersebut.

Menurut saya yang awam dengan tidak bermaksud mengatasnamakan dan mendeskriditkan suatu aplikasi e-procurement, seperti yang sering disampaikan para ahli pada beberapa kesempatan bahwa merubah budaya kerja dalam pengadaan barang/jasa tidaklah mudah. Sehingga dalam mengajak instansi menggunakan dirasa perlu dilakukan perubahan cara, tidak lagi dengan menakut nakuti pengguna dari sisi pengawasan yang akhirnya justru membuat keengganan untuk menjadi panitia pengadaan atau pejabat pembuat komitmen. Ajakan dengan menjelaskan keunggulan sistem e-procurement walaupun "agak" berhasil tetapi dirasa kurang mengena, karena indikator keberhasilan penerapan e-procurement menurut saya juga belum konkrit, dan tidak menjamin pejabat pengadaan tersebut bebas dari temuan pemeriksa.

Mungkin salah satu solusi awal adalah dengan membuat KPI (Key Performance Indicator) penerapan e-Procurement di Indonesia sehingga keberhasilan penerapannya dapat terukur dengan jelas. Sehingga instansi yang akan menerapkan e-Procurement memiliki sasaran dan kinerja yang jelas. Setelah itu dibarengi dengan perubahan agak sedikit "memaksa" para instansi untuk menerapkan e-Procurement yaitu dengan merubah prosedur serta sistem yang sudah ada, misalnya dengan ditetapkannya aturan bahwa apabila pengadaan tidak menggunakan sistem e-procurement kontrak tidak dapat dibayar, atau reward khusus diberikan kepada panitia pengadaan dan PPK yang melaksanakan pengadaan dengan menggunakan e-Procurement. Walaupun hal tersebut akan berdampak pada rendahnya penyerapan anggaran dlsb, namun untuk jangka panjang hal tersebut akan membuktikan bahwa reformasi pengadaan barang/jasa merupakan hal yang mutlak. (nv)