Kamis, 31 Maret 2011

e-Procurement Indonesia ->Single Sistem atau Multi Sistem atau Sistem yang saling teringrasi ?

Ada yang bisa menjawab judul artikel ini ?

Mungkin tidak banyak orang yang tau perkembangan e-Procurement di Indonesia khususnya di instansi pemerintah, hal ini mungkin disebabkan karena bukan merupakan berita yang menarik bagi dunia pers, dan sepertinya memang belum pernah ada yang mengulas tentang perkembangannya secara global hanya instansi yang sudah memiliki mengulas untuk kebutuhan internal.

Perkembangan e-Procurement instansi pemerintah antara lain di awali oleh Pemko Surabaya dan Kementerian Pekerjaan Umum (Semi e-Proc Plus) di tahun 2003. Dilanjutkan dengan Kementerian Kominfo (NePGI sekarang SePP) di tahun 2004 sebagai pilot project dan penerapannya mulai 2007.

Saat ini dengan terbentuknya LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) tahun 2008 yaitu instansi yang bertanggung jawab terhadap kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah, juga telah mengembangkan sistem e-Procurement yaitu SPSE atau LPSE.

Hal tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia memiliki paling tidak terdapat 4 jenis sistem e-Procurement yang berjalan dan digunakan oleh masing-masing instansi tersebut dan beberapa instansi pemerintah yang memanfaatkan sistem e-Procurement tersebut.

Dengan kondisi seperti ini apakah sistem yang sudah berjalan lebih dahulu harus di hentikan karena LKPP telah mengembangkan sistem e-Procurement juga atau masing-masing aplikasi yang ada berjalan sendiri-sendiri ataukah seluruh aplikasi yang ada integrasikan satu dengan yang lainnya sehingga saling berinteroperabel ?

Apabila Single sistem, saat ini aplikasi SPSE yang dikembangkan oleh LKPP telah diinstall dan digunakan di instansi pusat maupun daerah. Andaikan seluruh instansi diwajibkan menggunakan aplikasi SPSE lalu bagaimana dengan aplikasi yang telah adadan telah memiliki data yang telah digunakan dan telah dikelola dan dipelihara, disamping itu tentunya nilai investasi dan pemeliharaannya yang tidak kecil.

Apabila aplikasi jalan masing-masing, lalu bagaimana dengan amanat Perpres 54/2010 tentang prinsip pengadaan adil transparan, efektif dan efiesien bagi penyedia barang/jasa, disaat mereka membutuhkan informasi tentang pengadaan barang/jasa mereka yang berasal dari bermacam-macam sistem sehingga menjadi tidak efektif dan efisien dan menjadi tidak adil dan transparan karena hanya yang mengetahui keberadaan aplikasi tersebut sajalah yang dapat mengakses informasi.

Apabila seluruh aplikasi terintegrasi dengan dijembatani oleh suatu aplikasi, mungkin hal ini dapat menjadi solusi agar aplikasi yang telah ada tetap berjalan dan dapat saling memperkaya data di aplikasi lainnnya, sebab masing-masing aplikasi memiliki keunggulan, sehingga satu dengan yang lainnya dapat saling melengkapi. Selain itu guna mendukung penyediaan data penyedia barang/jasa yang valid sehingga tiap aplikasi dapat saling memberikan data tersebut.

Sebagaimana telah dilakukan di dunia perbankan dengan adanya ATM bersama yang memungkinkan nasabah dari berbagai bank dapat mengambil uang pada ATM milik suatu bank yang memiliki jaringan ATM bersama tersebut. Sehingga seharusnya aplikasi e-Procurement yang ada ini dapat saling terintegrasi dan penyedia barang/jasa yang ada di dalamnya dapat melakukan transaksi. Sehingga prinsip pengadaan yang telah diamanatkan dalam Perpres No. 54/2010 dapat di jalankan. Dengan memanfaatkan teknologi single sign on dapat memungkinkan 2 aplikasi atau lebih saling bertransaksi antar aplikasi, sebagaimana beberapa provider e-mail mulai memanfaatkan situs jejaring sosial untuk dapat saling login begitu juga sebaliknya.

Solusi integrasi mungkin dapat menjadi alternatif solusi yang terbaik agar aplikasi yang telah ada tetap bisa berjalan, namun memang perlu kesiapan baik dari SDM dan infrastruktur pendukung, agar tiap aplikasi tersebut dapat dipastikan di akses selama 7x24 jam. Disamping itu perlu adanya kebijakan yang mengatur tentang integrasi dah sharing data, sehingga antar instansi memiliki kesamaan visi antar agar dapat bekerjasama untuk mendukung integrasi ini.

Rabu, 16 Maret 2011

Bagaimana e-Procurement akan diterapkan ???

Lahirnya Perpres No. 54/2010 tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah merupakan upaya pemerintah dalam memperbaiki sistem pengadaan barang/jasa pemerintah yang selama ini dinilai terjadi penyimpangan dari segi proses maupun pelaksanaannya.

Tahun 2012 diharapkan merupakan suatu titik balik pengadaan barang/jasa perintah karena di tahun tersebut seluruh instansi pemerintah diwajibkan menerapkan sistem e-procurement. Tahun 2011 ini diharapkan merupakan tahun persiapan dan pembelajaran baik instansi pemerintah itu sendiri maupun penyedia barang/jasa. Walaupun dalam Keppres No.80/2003 telah disebutkan tentang penggunaan sistem e-Procurement (pengadaan barang/jasa secara elektronik), namun pada kenyataannya e-procurement tersebut hanya berupa kajian dan wacana di lingkungan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah.

Tapi pertanyaannya apakah instansi yang saat ini telah menerapkan benar-benar dan sungguh-sungguh akan merubah proses pengadaan barang/jasa dari proses manual menjadi proses elektronik ?

Dalam Perpres No. 54/2010 walaupun telah disebutkan "wajib" namun tidak ada sanksi khusus bagi instansi tidak menerapkan pengadaan secara elektronik di tahun 2012. Sehingga sampai saat ini masih banyak instansi terutama instansi pusat yang belum menerapkan e-procurement. Adapun instansi yang telah memiliki website e-procurement saat ini baru sekedar "memasang" websitenya saja dan belum digunakan baru "sekedar" memenuhi kewajiban di Perpres tersebut.

Dalam beberapa kesempatan masih sering ditanyakan misal :
apakah untuk semua pengadaan harus di eproc-kan ?
apakah harus menerapkan e-proc secara full atau semi?
apakah pengadaan yang nilainya kecil juga di e-prockan ?
dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan apalagi dijawab sebab semua sudah jelas dalam peraturan.
Sehingga penerapan e-procurement ini terkesan masih negotiable. Jadi sepertinya targetnya adalah yang penting instansi tersebut sudah terlihat menggunakan e-proc, walaupun hanya memasang websitenya atau menayangkan pengumumannya pengadaan di website e-Procurement tersebut.

Menurut saya yang awam dengan tidak bermaksud mengatasnamakan dan mendeskriditkan suatu aplikasi e-procurement, seperti yang sering disampaikan para ahli pada beberapa kesempatan bahwa merubah budaya kerja dalam pengadaan barang/jasa tidaklah mudah. Sehingga dalam mengajak instansi menggunakan dirasa perlu dilakukan perubahan cara, tidak lagi dengan menakut nakuti pengguna dari sisi pengawasan yang akhirnya justru membuat keengganan untuk menjadi panitia pengadaan atau pejabat pembuat komitmen. Ajakan dengan menjelaskan keunggulan sistem e-procurement walaupun "agak" berhasil tetapi dirasa kurang mengena, karena indikator keberhasilan penerapan e-procurement menurut saya juga belum konkrit, dan tidak menjamin pejabat pengadaan tersebut bebas dari temuan pemeriksa.

Mungkin salah satu solusi awal adalah dengan membuat KPI (Key Performance Indicator) penerapan e-Procurement di Indonesia sehingga keberhasilan penerapannya dapat terukur dengan jelas. Sehingga instansi yang akan menerapkan e-Procurement memiliki sasaran dan kinerja yang jelas. Setelah itu dibarengi dengan perubahan agak sedikit "memaksa" para instansi untuk menerapkan e-Procurement yaitu dengan merubah prosedur serta sistem yang sudah ada, misalnya dengan ditetapkannya aturan bahwa apabila pengadaan tidak menggunakan sistem e-procurement kontrak tidak dapat dibayar, atau reward khusus diberikan kepada panitia pengadaan dan PPK yang melaksanakan pengadaan dengan menggunakan e-Procurement. Walaupun hal tersebut akan berdampak pada rendahnya penyerapan anggaran dlsb, namun untuk jangka panjang hal tersebut akan membuktikan bahwa reformasi pengadaan barang/jasa merupakan hal yang mutlak. (nv)