Rabu, 16 Maret 2011

Bagaimana e-Procurement akan diterapkan ???

Lahirnya Perpres No. 54/2010 tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah merupakan upaya pemerintah dalam memperbaiki sistem pengadaan barang/jasa pemerintah yang selama ini dinilai terjadi penyimpangan dari segi proses maupun pelaksanaannya.

Tahun 2012 diharapkan merupakan suatu titik balik pengadaan barang/jasa perintah karena di tahun tersebut seluruh instansi pemerintah diwajibkan menerapkan sistem e-procurement. Tahun 2011 ini diharapkan merupakan tahun persiapan dan pembelajaran baik instansi pemerintah itu sendiri maupun penyedia barang/jasa. Walaupun dalam Keppres No.80/2003 telah disebutkan tentang penggunaan sistem e-Procurement (pengadaan barang/jasa secara elektronik), namun pada kenyataannya e-procurement tersebut hanya berupa kajian dan wacana di lingkungan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah.

Tapi pertanyaannya apakah instansi yang saat ini telah menerapkan benar-benar dan sungguh-sungguh akan merubah proses pengadaan barang/jasa dari proses manual menjadi proses elektronik ?

Dalam Perpres No. 54/2010 walaupun telah disebutkan "wajib" namun tidak ada sanksi khusus bagi instansi tidak menerapkan pengadaan secara elektronik di tahun 2012. Sehingga sampai saat ini masih banyak instansi terutama instansi pusat yang belum menerapkan e-procurement. Adapun instansi yang telah memiliki website e-procurement saat ini baru sekedar "memasang" websitenya saja dan belum digunakan baru "sekedar" memenuhi kewajiban di Perpres tersebut.

Dalam beberapa kesempatan masih sering ditanyakan misal :
apakah untuk semua pengadaan harus di eproc-kan ?
apakah harus menerapkan e-proc secara full atau semi?
apakah pengadaan yang nilainya kecil juga di e-prockan ?
dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan apalagi dijawab sebab semua sudah jelas dalam peraturan.
Sehingga penerapan e-procurement ini terkesan masih negotiable. Jadi sepertinya targetnya adalah yang penting instansi tersebut sudah terlihat menggunakan e-proc, walaupun hanya memasang websitenya atau menayangkan pengumumannya pengadaan di website e-Procurement tersebut.

Menurut saya yang awam dengan tidak bermaksud mengatasnamakan dan mendeskriditkan suatu aplikasi e-procurement, seperti yang sering disampaikan para ahli pada beberapa kesempatan bahwa merubah budaya kerja dalam pengadaan barang/jasa tidaklah mudah. Sehingga dalam mengajak instansi menggunakan dirasa perlu dilakukan perubahan cara, tidak lagi dengan menakut nakuti pengguna dari sisi pengawasan yang akhirnya justru membuat keengganan untuk menjadi panitia pengadaan atau pejabat pembuat komitmen. Ajakan dengan menjelaskan keunggulan sistem e-procurement walaupun "agak" berhasil tetapi dirasa kurang mengena, karena indikator keberhasilan penerapan e-procurement menurut saya juga belum konkrit, dan tidak menjamin pejabat pengadaan tersebut bebas dari temuan pemeriksa.

Mungkin salah satu solusi awal adalah dengan membuat KPI (Key Performance Indicator) penerapan e-Procurement di Indonesia sehingga keberhasilan penerapannya dapat terukur dengan jelas. Sehingga instansi yang akan menerapkan e-Procurement memiliki sasaran dan kinerja yang jelas. Setelah itu dibarengi dengan perubahan agak sedikit "memaksa" para instansi untuk menerapkan e-Procurement yaitu dengan merubah prosedur serta sistem yang sudah ada, misalnya dengan ditetapkannya aturan bahwa apabila pengadaan tidak menggunakan sistem e-procurement kontrak tidak dapat dibayar, atau reward khusus diberikan kepada panitia pengadaan dan PPK yang melaksanakan pengadaan dengan menggunakan e-Procurement. Walaupun hal tersebut akan berdampak pada rendahnya penyerapan anggaran dlsb, namun untuk jangka panjang hal tersebut akan membuktikan bahwa reformasi pengadaan barang/jasa merupakan hal yang mutlak. (nv)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar