Jumat, 15 April 2011

Blacklist Perusahaan dalam penerapan e-Procurement


Perpres No. 54/2010 tentang "Pengadaan Barang Jasa/Pemerintah Bagian Keempat Sanksi Pasal 118 ayat (6) Apabila ditemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang disampaikan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang dan dimasukkan dalam Daftar Hitam."

Namun apabila pemalsuan informasi tersebut terjadi pada pengadaan barang/jasa secara elektronik (e-Procurement), apakah cukup dengan dimasukkan ke dalam daftar hitam ? atau ada yang lainnya ? Bagaimana hubungannya dengan UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?

Definisi e-Procurement menurut Perpres No. 54/2010 Pasal 1 ayat 37. Pengadaan secara elektronik atau E-Procurement adalah Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Undang-undang yang mengatur tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah UU No. 11 tahun 2008.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

BAB III
INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

Pasal 51
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 52
(2)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga.

Melihat hubungannya Perpres No. 54/2010 dengan UU No. 11/2008, penyedia barang/jasa yang memberikan informasi yang tidak valid atau melakukan pemalsuan informasi pada sistem e-Procurement, bukan hanya masuk dalam Daftar Hitam, namun dapat dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam UU No.11/2008 tersebut.

Senin, 11 April 2011

Apakah etika pengadaan juga berlaku pada petugas helpdesk, verifikator dan administrator sistem e-Procurement ?

Pada Perpres No 54/2010 tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah pada Bagian Kedua Etika Pengadaan Pasal 6 dinyatakan "Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut :
  1. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan Barang/Jasa;
  2. bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
  3. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
  4. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;
  5. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa;
  6. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa;
  7. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;
  8. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa."

Dalam Perpres No. 54/2010 tersebut juga disebutkan adanya LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) yaitu unit yang menangani sistem e-Procurement, dan paling kurang meliputi : administrator sistem elektronik, unit registrasi dan verifikasi serta unit layanan pengguna. Peraturan Ka.LKPP No. 2/2010 tentang Pembentukan LPSE di peraturan tersebut menjelaskan kedudukan, tugas dan fungsi dari LPSE.

Isu-isu belakangan ini lebih banyak memberitakan panitia pengadaan atau pihak yang terlibat langsung dengan proses pengadaan, namun di era e-Procurement ini akan menimbulkan motif baru dalam penyimpangan pengadaan barang/jasa.

Perpres No. 54/2010 berikut aturan pendukung lainnya saat ini terlihat sangat concern sekali kedudukan pejabat pengadaan agar lebih profesional dalam menjalankan tugasnya dikarenakan dampak dari rawannya terjadi penyimpangan dalam proses pengadaan, sebagaimana pada pasal 6 tersebut disebutkan para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengadaan yaitu pejabat pengadaan/ULP serta penyedia barang/jasa

Lalu bagaimana dengan kedudukan LPSE (atau kita sebut saja Unit Penyedia Layanan Sistem e-Pengadaan) berikut perangkat dan personil yang terlibat di dalamnya? Di masa yang akan datang "oknum" akan terus mencari celah untuk "mengganggu" proses pengadaan melalui elektronik ini. Apabila Pejabat Pengadaannya sudah profesional kalau kita "jeli" pasti akan fokus pada petugas LPSE seperti helpdesk, verifikator dan yang paling penting administrator sistem.

Seperti pada paragraph di atas, saat ini fokus hanya tertuju dengan kinerja panitia pengadaan, namun dengan diterapkannya sistem e-Procurement/e-Pengadaan siapakah yang justru memegang kendali terhadap sistem tersebut ? Ya, Unit Penyedia Layanan Sistem inilah yang memegang kendali penuh terhadap jalannya sistem. Sebagimana tugas utamanya adalah melayani pendaftaran penyedia barang/jasa, verifikasi data penyedia barang/jasa, memberikan bantuan teknik penyedia barang/jasa, serta menjaga ketersediaan sistem.

Dengan demikian personil yang terlibat dalam layanan sistem tersebut juga harus memiliki integritas yang tinggi, sebab saat ini yang justru bertatap muka langsung dengan penyedia barang/jasa adalah mereka. Dan bukanlah hal yang tidak munkin terjadi pengaturan lelang dapat dilakukan disini.


8 butir tentang etika pengadaan di atas juga menunjukkan bahwa etika pengadaan juga berlaku bagi personil di Unit Penyedia Layanan Sistem.

Diamanatkan pula di UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Bagian Kedua Penyelenggaraan Sistem Pasal 15,
ayat 1 "Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya"
ayat 2 "Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya"

Integritas personil yang terlibat dalam penyediaan layanan sistem juga tidak kalah pentingnya, kita lihat keterkaitan tugas unit layanan sistem dengan etika pengadaan :
  • unit layanan sistem memiliki tanggung jawab untuk mendukung jalannya proses pengadaan.
  • unit layanan sistem harus dapat menjaga kerahasiaan dokumen yaitu antara lain dokumen perusahaan dalam rangka verifikasi, dengan tidak membagikan informasi dokumen perusahaan dengan pihak lain sehingga dapat disalah gunakan.
  • masing-masing personil unit layanan sistem harus independen sehingga tidak saling mempengaruhi terutama dalam proses verifikasi penyedia barang/jasa.
3 butir di atas sangat rawan sekali dengan konflik kepentingan, sehingga harus dapat dihindari guna mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara.

Dan yang terakhir adalah "tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa", di suatu instansi penyedia layanan sistem, ada penyedia barang/jasa yang memberikan "tanda jasa" setelah dibantu misalnya melakukan pendaftaran ke sistem atau telah melewati proses verifikasi. Bentuknya pun macam-macam ada yang berupa makanan oleh-oleh suatu daerah karena penyedia barang/jasa berasal dari daerah tersebut, uang dalam amplop, souvenir perusahaan.
Bila dilihat dari nominal jumlah uangnya tidak seberapa besar dan mungkin belum masuk dalam kategori gratifikasi, namun hal tersebut dapat menimbulkan kecurigaan dengan peserta lain sehingga dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap penyedia sistem.

Selain itu intervensi bukan hanya dapat berasal dari penyedia barang dari pihak internal pun juga dapat melakukan hal yang sama, oknum pejabat dapat juga menggunakan kewenangannya untuk mengganggu proses pengadaan secara elektronik dalam upaya memenangkan suatu perusahaan melalui administrator sistem.

Dengan demikian semua kembali lagi pada integritas tiap personilnya dalam menjalankan tugasnya, pembinaan serta pengawasan seperti penandatanganan pakta integritas, selain itu juga perlu dipertimbangkan reward dan punishmentnya bukan hanya bagi penjabat pengadaan sebab apabila seluruh proses sudah melalui media elektronik peranan dan fungsi dari unit layanan sistem menjadi sangat penting dalam proses pengadaan barang/jasa. (nv)

Pentingnya verifikasi penyedia barang/jasa pada sistem e-Procurement



Apakah ada data tentang jumlah perusahaan penyedia barang/jasa di Indonesia ? kalau se-Indonesia terlalu besar kita persempit saja se Jakarta. Lalu pertanyaan selanjutnya berapa jumlah perusahaan tersebut yang benar-benar valid baik dari sisi dokumen perusahaan maupun keberadaan perusahaan tersebut. ?

Agaknya susah menjawab pertanyan tersebut, kalau jumlah kalau kita minta ke instansi yang menangani ini munkin masih ada jawabannya tapi kalau validitas perusahaan tersebut...saya yakin agak sulit mereka menjawab. Apalagi jumlah perusahaan yang sehat.

Dalam penyelenggaraan e-Procurement sebagaimana telah di amanat dalam UU no. 11 tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 17 ayat 2 bahwa Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung. Sehingga dengan demikian data penyedia barang/jasa yang mendaftar ke sistem haruslah merupakan data yang valid.

Dalam melakukan verifikasi, tim verifikator harus memastikan bahwa seluruh data pada dokumen perusahaan adalah sesuai satu dengan lainnya. Sekilas tampak bukan merupakan hal yang sulit untuk sekedar melihat kesesuaian data perusahaan, akan tetapi walau hanya dengan melihat kesesuaian data perusahaan ternyata banyak ditemui data perusahaan yang satu dokumen dengan dokumen lainnya tidak sesuai yang selama ini tidak dipermasalahkan sehingga tidak di perbaharui.

Dengan demikian fungsi dari verifikator yang merupakan bagian dari Unit Pelayanan Sistem e-Pengadaan menjadi sangat penting, sebab verifikator harus dapat memastikan bahwa penyedia barang/jasa yang mendaftar ke sistem merupakan perusahaan yang valid baik dari kelengkapan dokumennya maupun keberadaannya sehingga para pihak yang terlibat langsung dalam proses pengadaan secara elektronik memperoleh data yang dapat dipertanggung jawabkan.